Senin, 26 Januari 2015

Ketika Mamak Minta Cucu

Secara jarak, aku tinggal jauh daru kedua orangtuaku. Asliku emang dari sebuah kota kecil di daerah Sumatra, tapi karena tujuh tahun lalu aku ngelanjutin kuliah, aku hijrah ke kota hujan, Bogor. Pertama seumur-umur jauh dari keluarga, dengan posisi aku cuma kenal sama beberapa teman yang kebetulan satu daerah dan ngelanjutin ke kampus yang sama.

Aku masih inget, malem itu hujan pertama yang aku alami di Bogor. As always, hujannya Bogor nggak akan lengkap kalau nggak pake petir/geluduk/gemuruh atau apa lagi itu namanya. Malem itu aku nangis kenceng, karena baru sadar mamak nggak ada disampingku pas petir "teriak" kenceng di langit. Yup..aku anak umur 17 tahun yang (waktu itu) kalo ada petir/geledek bakal nyari mamak dikamarnya, dan ngumpet diketeknya, karena kurasa itu tempat paling aman di dunia ini (haha). Oh iya, sampe lupa, mamak itu sapaan untuk ibu di kampungku, asal katanya dari mama.

Sekarang, sudah tujuh tahun berlalu dari malam itu. Aku sudah lulus dari kuliah sejak tahun 2012 lalu. Beberapa hari yang lalu, pas aku lagi ngobrol via SMS sama mamak, tiba-tiba mamak bilang "pengen punya cucu". Aku yang notabene belum pernah denger kalimat itu, kaget. Aku perempuan 25 tahun, tinggal di perantauan, punya pekerjaan, punya pacar, terbilang jarang pulang ke kampung halaman, dan mamak minta cucu. Artinya?.

Iya, mamakku mengisyaratkan sudah waktunya aku menikah. Yakan nggak mungkin juga aku ngasih mamak cucu tanpa sebelumnya ngasih beliau mantu, ya dong?.

Aku sebenernya belum pengen menikah. Oke, mungkin maksudku, aku pernah ingin menikah, tapi masa itu sudah lewat dua tahun lalu. Terus, apa tega aku bilang gitu ke mamak?. Misal, "nanti-nantilah mak, kalo udah waktunya juga nikah". Atau, "iya sabarlah mak, nanti juga aku nikah kok". Aku cuma jawab, "iya mak, doakan ajalah ya". Dan mamakku balas SMS-ku lagi dengan "tahun depan ya, keburu mamak tua, nggak kuat jagain cucu". Kalo udah gitu, bisa apa coba?. Lagi-lagi cuma bisa jawab, "iya mak, doakan aja ya".

Mungkin karena dulu mamak dinikahi bapak saat masih muda. Pas usia beliau baru 18 tahun. Pas beliau 20 tahun, sudah menetek-i dan mengganti popokku. Sudah lewat lima tahun dari usianya waktu itu. Tapi, aku suka cara mamak yang bertanya dengan tersirat dan tidak langsung ke intinya. Karena mamak yakin, aku akan mengerti bahasa paling sederhana yang ia ucapkan sekalipun.

Kalo diingat-ingat, mamak itu bisa dibilang adalah orang di rumah kami, yang nggak pernah bilang nggak kalo aku minta apapun. Perempuan yang ngedekor ruang tamu di rumah dengan perabot/aksesoris serba merah itu selalu berusaha jawab "iya" kalo aku minta sesuatu. Entah itu ada atau nggak, bisa atau nggak dipenuhi, yang penting iya dulu.

Beliau juga yang berusaha ngeyakinin bapak, buat ngelepas aku hidup dan kerja di kota hujan ini. Mamak pernah berpesan, "apa-apa itu tergantung yakin atau nggak, kalau belum yakin mending nggak usah dijalani daripada setengah-setengah". Itu pas aku "memaksakan" diri buat ikut kata bapak dan menerima pekerjaan yang dipilihkan bapak buatku.

Aku pernah nggak sengaja beberes rumah, dan nemuin buku hariannya. Disana ketulis jelas sebait kalimat, yang bunyinya "sumber kekuatanku adalah anak-anakku". Spontan aku nangis. Ternyata perempuan yang selalu kuat dan tersenyum di depan kami, adalah perempuan yang menganggap aku dan adikku adalah sumber kekuatannya menjalani kehidupan ini.

So, doakan aku ya biar bisa segera memberi mamak mantu, kemudian cucu.


"Tulisan ini disertakan dalam kegiatan Nulis Bareng Ibu. Tulisan lainnya dapat diakses di website http://nulisbarengibu.com

Rabu, 07 Januari 2015

3 Jam Menuju Puncak Prau (2656 mdpl)

hallooo..setelah setahun (karena ini udah 2015) nggak nulis, akhirnya punya bahan lagi nih buat ngoceh. kali ini seputar perjalananku bareng 15 orang teman lainnya ke gunung Prau. 14 orang dari total pasukan adalah orang-orang yang kerja di bank BNI Kota.

mungkin memang belum banyak yang familiar dengan gunung tersebut, kebukti dari yang nanya "itu dimana?". nah, jadi sodara-sodara, gunung Prau ini letaknya di Wonosobo, Jawa Tengah. sebelahan/sodaraan sama dataran tinggi Dieng ya. bisa dibilang satu komplek deh, cuma beda puncak.

kami berangkat tanggal 24 desember, kereta serayu jurusan akhir stasiun Purwekerto. harga tiketnya waktu itu (masih subsidi) Rp. 35.000. berangkat dari Jakarta Kota jam sembilan malam, dan sampai di Purwekerto jam 8 atau 9 pagi (aku lupa persisnya). yang jelas karena kereta ekonomi, jadi ya nyampenya belakangan, mempersilahkan yang keren-keren (eksekutif/bisnis) lewat duluan.

oke, lets the journey begin!!.

sampai di stasiun Purwekerto, mas Adoy (koordinator trip kali ini) sudah menyiapkan 2 angkot carteran yang akan menemani kami selama disini. pak Wawan ini sopir angkot yang kebetulan aku tumpangi, kocak gitu orangnya. pede abbiis dengan kehandalannya menaklukkan jalanan berbatu dan tanjakan itu. dan ini pasukan angkot 2 bisanya cuma ngompor-ngomporin pak Wawan doang, ckckck.

(maksain selfie diangkot : mas Opat, mas Catur, mas Adi, Aku & mas Mul)

kami beruntung karena mas Gian yang asli Purwekerto merelakan rumahnya untuk kami jadikan base camp dadakan pagi itu. kami dihidangi mendoan khas Purwekerto yang piringnya selalu direfil, soto khas Sokaraja, gethuk goreng, dan aneka cemilan, plus teh dan kopi hangat. mayaaann...hemat biaya makan siang, haha. rezeki anak-anak soleh.

jam 11.00 kami mutusin buat ngelanjutin perjalanan ke Wonosobo. setelah perut full tank tentunya, thanks to mas Gian's family, hehe. perjalanan ke Wonosobo kurang lebih makan waktu 3 jam. panasnya Purwekerto mulai berangsur berubah jadi sejuk pas angkot kami mulai masuk ke daerah Wonosobo.

karena masih siang, kami menyempatkan diri main ke dataran tinggi Dieng terlebih dahulu. ke kawah Sikidang dan ke komplek Candi Arjuno. kena tambahan biaya masuk lagi untuk masing-masing objek wisata itu, tapi karena rombongan jadi dapet potongan harga.

(ini pasukan, minus Aku yang motoin, & mas Gian)

(mas Putra, mas Pundi, mas Adoy, mas Panji, mas Apoy, mas Ruslan, kak Pandan, Aku)

(selfie sukaesih di depan kawah Sikidang)

(masih edisi selfie di depan kawah Sikidang)

(selfie everywhere yeuh)

(mas Adoy, Aku, kak Pandan, mas Opat)

(selfie di depan Candi Arjuno)

jam 5 sore kami menyudahi tur hari itu dan milih buat sedikit turun ke daerah Patak Banteng untuk mencari homestay/penginapan. Patak Banteng kebetulan merupakan tempat dimana base camp untuk pendakian ke gunung Prau berdiri, jadi keputusan kami untuk mencari homestay disana dirasa pas. kami mendapat homestay seharga 500 ribu untuk menginap satu malam. fasilitasnya cukup lengkap, yang jelas nyaman buat istirahat ke-16 manusia ini.

karena momen ngumpul memang jarang-jarang, biasanya kalau udah gini pasukan bakal duduk sambil ngopi dan main gaple atau kartu. ada poker warior dan gaple warior malam itu. aku milih pokeran aja, karena nggak paham gimana main gaple. jam 23.00 aku sama kak Pandan mutusin buat istirahat dan pindah tidur ke kamar kami. menyingkir dan menyelamatkan diri dari sarang penyamun, hehe.

jam 04.00 pagi buta mas Adoy udah gedor-gedor kamar nyruruh bangun. karena sudah diniatin mau liat sunrise di bukit Sikunir, aku dan kak Pandan dengan semangat bangun, bebersih, dan sudah duduk manis depan tv sembari nyeruput teh anget buatan para lelaki. tapi ya namanya juga lelaki, jam 5 deh baru bener-bener pasukan udah pada siap. matahari geh udah tinggi, udah nggak berharap lagi ketemu sunrise ini mah.

(view milky way dari bukit Sikunir)
(nggak dapet sunrise, tp dapet selfie)

jalur mau ke puncak Sikunir padat merayap berasa jalanan jakarta. macet nggak cuma di kota ya gais, di gunung juga bisa. banyakan yang pada turun sih ya karena memang mataharinya malu-malu plus ketutup kabut yang cukup tebel, dan kami kesiangan. tapi, okelah minimal nyampe puncak Sikunir dan bisa foto-foto hamparan hijau bukit disebelah-sebelahnya.

jam 08.00 pasukan turun. disamping karena mataharinya memang nggak kelihatan, kami juga masih harus ngelanjutin perjalanan ke puncak Prau, khawatir kesiangan dan keburu hujan.

jam 10.30 kami mulai bergerak meninggalkan base camp Patak Banteng, setelah sebelumnya mengurus perizinan pendakian, dan melengkapi logistik. cuaca masih mendung-mendung syahdu gitu, dingin, adem, enaknya buat tidur ini mah, hehe. menurut mas Adoy yang udah duluan kesini bulan mei lalu, ada 4 pos yang harus dilalui baru sampe puncak. perjalanan normal memakan waktu 3 jam.

(view dari track menuju pos 1 mt.Prau)

(view desa dikaki gunung Prau)

(track dari pos 1 ke pos 2)

(track dari pos 2 ke pos 3)

(masih jalur menuju pos 3)

(track menuju pos 4)
(track pos 4 menuju puncak)
melewati perkampungan, kebun kentang milik petani setempat, dan akhirnya jalanan mulai menanjak dan masuk ke areal hutan. pemandangannya Subhanallah. ini salah satu kenapa aku suka naik-naik, semua kelihatan jelas kalau dilihat dari atas. rumah-rumah penduduk jadi mirip rumah liliput, kecil-kecil nggak beraturan, Telaga Warna dan kawah Sikidang juga kelihatan kecil dari atas sini.

setelah sempat beristirahat beberapa kali, akhirnya jam 13.30 aku dan beberapa teman sampai duluan. kami terbagi ke beberapa kelompok, yang paling belakang yang bawa tenda, karena berat jadi jalannya lebih santai. begitu sampai, kami langsung mendirikan 1 tenda yang dibawa mas Apoy. memilih lokasi yang pas di depannya Sindoro-Sumbing, berharap besok langit bersahabat dan matahari dengan cantiknya bersinar (amin).

(bunga Daisy punyanya mt.Prau)
kurang lebih jam 16.00 sisa pasukan yang jalan pelan sampai juga (Fathan, mas Pundi, mas Catur, mas Panji, dan mas Adoy). ternyata salah satu teman drop dan kelelahan. sore itu aku, kak Pandan, mas Catur, mas Pundi, dan mas Adoy jadi petugas dapur umum. masak mi rebus, omelet sosis, dan susu jahe untuk para pasukan.

setelah selesai makan dan beribadah, karena cuaca terlalu dingin untuk melakukan kegiatan luar, kami masuk tenda masing-masing dan milih buat main poker (lagi). cuma bertahan sampai kurang lebih jam 20.00, akhirnya udara dingin maksa pasukan poker bubar dan pada tidur. tidak demikian dengan gaple warior yang masih bertahan di tenda sebelah (mas Adoy, mas Panji, mas Pundi, mas Apoy, dan kak Pandan).

jam 5 subuh aku sudah bangun. nebeng solat berjamaah di tenda sebelah (anak-anak Bekasi), terus nungguin sunrise setengah kedinginan di depan tenda. tapi sampe jam 6 pun tuh matahari nggak muncul-muncul, cuma ada sih bayangannya dikit, tapi langit asli berkabut parah. sedih.

entah kenapa, pagi itu para lelaki sedang berbaik hati, mereka nggak sibuk minta dimasakin, tapi malah inisiatif masak sendiri, good boy(s).

(Sindoro-Sumbing)

(bahagianya si Sindoro-Sumbing nongol bentaran)

(hei universe)

setelah beres sarapan dan bebenah tenda, jam 9.30 kami turun gunung. mulai gerimis dan cuaca masih aja kabut. frustasi nungguin matahari yang tak kunjung muncul, jadi lebih baik turun gunung aja. sisa hujan semalam bikin jalur jadi becek dan licin. harus lebih hati-hati. memang biasanya waktu yang dibutuhkan buat turun itu lebih singkat, tapi kehati-hatian ekstra itu lebih dibutuhkan pas turun ini.

kanan-kiri jalur sempet ngelihat ada yang longsor dan ekstrim gitu licinnya. batu juga sempat ada yang runtuh, beruntung semua baik-baik aja, kecuali mas Apoy yang kakinya sempet kena "serempet" sama bongkahan batu yang jatoh tadi. dan nggak ada satupun dari kami yang nggak kepleset di jalanan, tapi Alhamdulillah nggak ada yang luka atau cedera, lecet-lecet dikit ada lah ya.

(sisa-sisa semangat untuk selfie)

(Aku, Fathan, mas Pundi, mas Apoy)

jam 11.30 kami sudah sampai di Patak Banteng. beristirahat sebentar, kemudian kami melanjutkan perjalanan. ceritanya sih mau ke Batu Raden, mainan air panas. tapi apa daya, entah kenapa perjalanan balik ke Purwekerto jadi lebih panjang daripada pas berangkat. anak-anak pada tumbang dan mual. pak Wawan makin ugal-ugalan nyetirnya, entah kesambet setan apa dan dimana.

Batu Raden batal, akhirnya mampir lagi ke rumahnya mas Gian buat bebersih. karena kereta ke Jakarta berangkat jam 18.50, jam 18.00 kami semua udah cabut dari rumah mas Gian. dengan sisa-sisa tenaga akhirnya sampai juga di stasiun, beruntung nggak ketinggalan kereta. kan nggak lucu ngegembel nungguin dapet kereta lainnya, 16 orang pula.

di dalam kereta pasukan pada tepar dan pada diem. tidur dan istirahat, cerita-cerita ringan bentar kemudian tewas. lelah amat kayaknya ya, hehe. benar-benar 3 jam menuju puncak yang nggak bisa disepelekan.

kereta sampai di Pasar Senen kurang lebih jam 01.00 dini hari. karena Bogor itu jauh, aku akhirnya nginep dikosannya kak Pandan, dan pulang besok paginya.

aaaa..masih pengen banget liburan. masih pengen bengong nggak jelas gitu di gunung, nungguin matahari terbit, atau deg-degan turun gunung karena licin. well..mari kembali ke realita Enn, dan siapkan perjalanan berikutnya. kemana lagi kita??.

NB : sebaiknya memang ke Prau kalau cuaca bagus kaalu mau dapat banyak bonus pemadangan Sindoro-Sumbing, atau golden sunrisenya Sikunir.

(terimakasih BNI Kota atas liburannya, see u next trip)

(ew).